Minggu, April 05, 2009
Harun Al-Rasyid, Bukanlah Khalifah Yang Suka Foya-Foya!
Namun sebenarnya, tidaklah demikian. Harun al-Rasyid amat berbeda dari kondisi seperti itu sama sekali. Beliau adalah Abu Ja’far, Harun bin al-Mahdi, Muhammad bin al-Manshur, salah seorang khalifah Daulah Bani ‘Abbasiah di Iraq, yang lahir tahun 148 H.
Beliau menjadi khalifah menggantikan kakaknya, al-Hadi pada tahun 170 H. Beliau merupakan khalifah paling baik, dan raja dunia paling agung pada waktu itu. Beliau biasa menunaikan haji setahun dan berperang setahun. Sekalipun sebagai seorang khalifah, beliau masih sempat shalat yang bila dihitung setiap harinya mencapai seratus rakaat hingga beliau wafat. Beliau tidak meninggalkan hal itu kecuali bila ada uzur. Demikian pula, beliau biasa bersedekah dari harta pribadinya setiap harinya sebesar 1000 dirham.
Beliau orang yang mencintai ilmu dan para penuntut ilmu, mengagungkan kehormatan Islam dan membenci debat kusir dalam agama dan perkataan yang bertentangan dengan Kitabullah dan as-Sunnah an-Nabawiyyah.
Beliau berumrah tahun 179 H di bulan Ramadhan, dan terus dalam kondisi ihram hingga melaksanakan kewajiban haji. Beliau berjalan kaki dari Mekkah ke padang Arafah.
Beliau berhasil menguasai kota Hiracle dan menyebarkan pasukannya di bumi Romawi hingga tidak tersisa lagi seorang Muslim pun yang menjadi tawanan di kerajaan mereka. Beliau mengirimkan pasukannya yang kemudian menaklukkan benteng Cicilia, Malconia dan Cyprus, lalu menawan penduduknya yang berjumlah 16000 orang.
Harun al-Rasyid wafat dalam usia 45 tahun atau 46 tahun dalam perangnya di Khurasan tahun 193 H.
Semoga Allah merahmati Harun al-Rasyid.
Dipetik dari:
http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihattokoh&id=127
Selasa, November 25, 2008
Patani, Hilangnya Sebuah Negeri Islam Melayu
Berbeda dengan nasib negeri lainnya seperti Bosnia, Kashmir, Chechnya atau Palestina yang tak pernah sepi dari pemberitaan. Patani ditakdirkan telah menjadi sebuah negeri yang dilupakan orang, sepi dan tidak naik panggung. Namanya hanya terdapat pada peta dan dokumen lama saja. Demikian juga dengan orang Patani, hilang dan tak dikenal.
Patani yang dimaksud dalam tulisan ini bukanlah Changwad atau wilayah Patani sebagaimana terdapat dalam peta negara Thailand sekarang, tetapi lebih kepada sebuah negeri yang sempadannya lebih luas (Negeri Patani Besar) yang meliputi wilayah-wilayah Narathiwat (Teluban), Yala (Jalor) dan sebagian Senggora (Songkla, daerah-daerah Sebayor dan Tibor) bahkan Kelantan, Kuala Trengganu dan Pethalung (Petaling).
Patani itu Langkasuka
Negeri Patani memiliki sejarah yang cukup lama, jauh lebih lama daripada sejarah negeri-negeri di Semenanjung Melayu seperti Malaka, Johor dan Selangor. Sejarah lama Patani merujuk kepada kerajaan Melayu tua pengaruh Hindu-India bernama Langkasuka sebagaimana dikatakan oleh seorang ahli antropologi sosial di Prince of Songkla University di Patani, Seni Madakakul bahwa Langkasuka itu terletak di Patani. Pendapat beliau ini didukung oleh ahli sejarawan lainnya seperti Prof. Zainal Abidin Wahid, Mubin Shepard, Prof. Hall dan Prof. Paul Wheatly.
Lebih jauh bahkan Sir John Braddle menegaskan bahwa kawasan timur Langkasuka meliputi daerah pantai timur Semenanjung, mulai dari Senggora, Patani, Kelantan sampai ke Trengganu, termasuk juga kawasan sebelah utara negeri Kedah (M. Dahlan Mansoer, 1979).
Dalam buku sejarah negeri Kedah, Hikayat Merong Mahawangsa, ada menyebutkan bahwa negeri Langkasuka terbagi dua: Sebagian terletak di negeri Kedah yaitu terletak di kawasan tebing sungai Merbok. Sebagian lainnya terletak di sebelah timur Kedah, yaitu di pantai Laut China Selatan. Dalam hal ini Prof. Paul Wheatly tanpa ragu mengatakan bahwa Langkasuka terletak di Patani sekarang. Pendapat beliau dikuatkan dengan temuan kepingan batu-batu purba peninggalan kerajaan Langkasuka di daerah Jerang dan Pujud (nama-nama kota pada masa itu). Konon, menurut buku Negarakertagama, Jerang atau Djere merupakan ibukota Langkasuka.
Sedangkan asal muasal orang Patani menurut para antropolog berasal dari suku Javanese-Malay. Sebab ketika itu suku inilah yang mula-mula mendiami Tanah Melayu. Kemudian berdatangan pedagang Arab dan India yang melakukan persemendaan sehingga menurunkan keturunan Melayu Patani di selatan Thai sekarang.
Tanah Melayu telah didatangi pedagang dari Arab, India dan China sejak sebelum masehi. Seorang pengembara China menyebutkan bahwa ketika kedatangannya ke Langkasuka pada tahun 200 masehi, ia mendapati negeri itu telah lama dibuka.
Pengaruh Sriwijaya
Sebelum menjadi negeri Islam, Patani (baca: Langkasuka) dikenal sebagai kerajaan Hindu Brahma. Rajanya yang terkenal adalah Bhaga Datta (515 M) yang berarti "pembawa kuasa". Ketika kerajaan Sriwijaya di nusantara berhasil menaklukkan Nakorn Sri Thamarat (sekarang Ligor di Thailand) pada 775 M dan kemudian mengembangkan kekuasaannya ke selatan (Patani), mulailah penduduk Patani meninggalkan agama Hindu dan memeluk Budha. Sebuah berhala Budha zaman Sriwijaya yang ditemui dalam gua Wad Tham di daerah Yala membuktikan pertukaran agama di atas.
Di bawah pemerintahan Sriwijaya inilah Patani mulai menapaki kemajuan, ramai dan terkenal. Hasil negeri Patani pada waktu itu banyak berupa pertanian dan perniagaan. Beberapa pengetahuan bernilai seperti teknik membajak dan berdagang diterima oleh orang Patani dari orang Jawa. Diyakini juga bahwa kerajaan Sriwijaya inilah yang membawa dan mengembangkan bahasa Melayu ke Patani.
Besarnya upeti yang diberikan setiap tahun ke kerajaan Sriwijaya menunjukkan bahwa Patani ketika itu kaya dan makmur.
Memeluk Islam
Tak diketahui pasti kapan Patani memeluk Islam, namun kalau dilihat kebanyakan
karya sastra sejarah dan merujuk kepada Teeuw dan Wyatt, juga W.K Che Man maka dapat diperkirakan bahwa Patani menjadi negeri Islam pada 1457 (Martinus Nijhoff, 1970).
Masuknya Patani kedalam Islam ibarat sebuah "dongeng", namun itulah adanya, seperti tertulis dalam buku-buku sejarah. Dikisahkan pada waktu itu Patani (Langkasuka) diperintah oleh raja Phya Tu Nakpa. Raja dikabarkan menderita sakit yang tak kunjung sembuh. Beliau mendengar ada seorang tabib, syeikh Said, seorang Muslim, yang mampu menyembuhkan sakitnya. Tabib tersebut sanggup mengobati penyakit sang Raja asal dengan syarat jika sembuh dari sakitnya maka Raja harus memeluk Islam. Namun Raja Phya Tu Nakpa ingkar janji setelah sembuh. Akhirnya Raja sakit kembali. Kejadian ini terulang sampai tiga kali. Pada kali ketiga inilah Raja bertaubat, ia tidak akan memungkiri janjinya lagi.
Setelah Raja sembuh dari sakitnya, beliau bersama keluarga dan pembesar istana memeluk Islam. Raja Phya Tu Nakpa berganti nama menjadi Sultan Ismail Shah. Sejak saat itu mulailah Islam berkembang dan pengaruh Hindu-Budha mulai berkurang, lemah dan akhirnya hilang dari Patani.
Raja Phya Tu Nakpa (Sultan Ismail Shah) diketahui juga sebagai pengasas negeri Patani. Beliaulah yang mengganti nama kerajaan lama menjadi Patani yang berarti "Pantai Ini". Karena beliau secara kebetulan menemukan suatu tempat yang indah dan ideal untuk dijadikan negeri di tepi pantai. Riwayat lain mengatakan Patani berasal dari kata "Pak Tani". Yaitu pemilik pondok (seorang petani garam) ditepi pantai yang ditemui oleh Raja ketika beliau bepergian mencari lokasi negeri baru. (Ibrahim Shukri, tanpa tahun)
Setelah berpindah ke Patani, Patani menjadi lebih ramai dan oleh karena lokasinya yang baik, tempat baru ini menjadi makmur dan mewah. Patani menjadi pusat daya tarik saudagar-saudagar dari timur seperti Jepang, China, Siam dan Eropa. Tercatat pada 1516 kapal dagang Portugis singgah pertama kalinya di pelabuhan Patani. Pinto, seorang saudagar dan penjelajah asal Portugis menyatakan: "Pada masa saya datang ke Patani dalam tahun itu saya telah berjumpa hampir-hampir 300 orang Portugis yang tinggal di dalam pelabuhan Patani. Selain dari Portugis didapati juga bangsa-bangsa timur seperti Siam, China dan Jepang. Orang-orang Jepang besar juga perniagaannya di pelabuhan ini."
Menaklukkan Siam
Sepeninggal Sultan Ismail Shah, putranya yaitu Sultan Muzaffar Shah, diangkat menjadi Sultan Patani. Selain meneruskan dan memajukan negerinya, Sultan Muzaffar Shah sering melakukan lawatan ke negara tetangga seperti Malaka, Siam. Namun dalam lawatan ke Siam (sekarang Thailand) beliau diperlakukan tidak selayaknya oleh Raja Siam. Raja Siam merasa lebih tinggi derajat dan kedudukannya daripada Sultan Patani. Sehingga perlakuan ini menimbulkan perasaan terhina dalam jiwa Sultan Muzaffar.
Ketika mengetahui kerajaan Siam diserang oleh Burma pada 1563, Sultan Muzaffar Shah bersama adiknya Sultan Mansyur Shah memanfaatkan kesempatan ini untuk menyerang Siam. Dengan mengerahkan 200 kapal perang dan ribuan pasukan, Siam akhirnya jatuh ke tangan Sultan Muzaffar pada tahun itu juga.
Sayang, tak lama kemudian, Sultan Muzaffar meninggal secara mendadak di muara sungai Chao Phraya dan dimakamkan di sana. Sebelum meninggal Sultan Muzaffar mengamandatkan kekuasaan kepada adiknya, Sultan Mansyur Shah. Hal ini dilakukan karena sampai akhir hayatnya Sultan Muzaffar tidak mengetahui bahwa permaisurinya sedang hamil. Sekalipun Sultan Muzaffar mempunyai anak dari selirnya (Pengiran Bambang), namun dalam tradisi pewarisan tahta di kerajaan Melayu tidak mengenal calon Raja dari anak selir. Sehingga diangkatlah adiknya (Sultan Mansyur Shah) menjadi Sultan Patani sampai akhir hayatnya (1564-1572).
Sebelum meninggal, Sultan Mansyur Shah telah berwasiat agar anak saudaranya -- anak Sultan Muzaffar Shah -- yaitu Patik Siam (10 th), pewaris sah kesultanan, diangkat menggantikan dirinya. Namun pengangkatan ini menimbulkan kebencian dan kedengkian dari Pangiran Bambang (anak Raja dari selir). Para ahli sejarah mengatakan bahwa peristiwa ini merupakan titik awal perselisihan dan perebutan kekuasaan dalam istana. Antara tahun 1573-1584 merupakan tahun-tahun penuh gejolak bagi kesultanan Patani. Tercatat dua kali terjadi perebutan kekuasaan disertai pembunuhan yang semuanya melibatkan anak-anak dari selir (anak Raja yang bukan dari permaisuri).
Kejayaan dan Keruntuhan
Patani mencapai zaman keemasannya ketika diperintah oleh empat orang Ratu yaitu Ratu Hijau (1584-1616), Ratu Biru (1616-1624), Ratu Ungu (1624-1635) dan Ratu Kuning (1635-1651).
Patani pada zaman Ratu-ratu sangat makmur dan kaya. Kekuasaannya meluas hingga ke Kelantan dan Trengganu sehingga terkenal dengan sebutan Negeri Patani Besar. Kecuali Johor, tidak ada negeri lain di belahan timur Semenanjung Melayu yang memiliki kemakmuran dan kekuatan sehebat Patani kala itu.
Kekuatan negeri Patani tergambar dari kemampuannya mematahkan empat kali serangan kerajaan Siam pada 1603, 1632, 1634 dan 1638. Patani memiliki 3 buah meriam besar yang sangat masyhur yaitu Seri Negara, Seri Patani dan Mahalela. Mampu mengerahkan 180.000 pasukan siap tempur dan diperkuat oleh sebuah benteng yang tak kalah terkenalnya yakni Benteng Raja Biru.
Sayang, masa kejayaan ini hanya bertahan 67 tahun. Ketika Ratu Kuning meninggal pada 1651, Patani mengalami proses kemerosotan secara politik, militer dan ekonomi. Patani hanya mencatat kemajuan ketika dipimpin oleh Raja Sakti I dan Raja Bahar yang mampu menyatukan Senggora (Songkla) dan Pethalung.
Pada akhir abad ke-17 ini, Patani mulai kehilangan era keemasannya. Tidak adanya peperangan dengan Siam, yang merupakan musuh tradisi bersama, sampai menjelang kejatuhannya (hampir satu abad) menyebabkan negeri Patani Besar yang tadinya bersatu (meliputi Kelantan, Trengganu, Patani Awal, Senggora dan Pethalung), perlahan-lahan mulai memisahkan diri. Perang yang terakhir yang melibatkan Patani - Siam terjadi pada 1638. Sejak tahun itu tidak ada lagi peperangan di antara kedua negara.
Kekuatan politik dan daya tarik pelabuhannya sebagai pusat dagang utama juga semakin redup, seiring dengan makin banyaknya pusat-pusat dagang yang baru seperti Johor, Malaka, Aceh, Banten dan Batavia (Jakarta).
Sebagai negara perairan, ekonomi Patani sangat tergantung pada perniagaan. Kemerosotannya pada bidang ini telah menyebabkan barometer ekonomi Patani anjlok. Maka boleh dikata, sejak awal abad ke-18, pelabuhan Patani hanya sebagai tempat persinggahan saja bukan pusat dagang dan bisnis lagi. Ditambah lagi faktor ketidakstabilan politik, perpecahan wilayah dan krisis pucuk pimpinan, maka lengkaplah Patani menjadi "Orang Sakit di Semenanjung Melayu".
Malang bagi Patani, karena hampir bersamaan dengan kemerosotan ini, Siam, di bawah pimpinan Panglima Taksin bangkit kembali dan berhasil mengusir Burma dari seluruh negeri. Sehingga ketika Patani lengah dan lemah, Siam berhasil menaklukkannya pada 1785. Maka mulai tahun inilah, Patani berada dalam cengkeraman Siam. Bahkan pada 1909, lewat Perjanjian Bangkok antara Inggris-Siam, Patani akhirnya terserap menjadi wilayah "resmi" Siam yang kemudian merubah namanya menjadi Thailand sampai sekarang ini.
Sumber:
http://www.geocities.com/prawat_patani/patanilupa_malay.htm
Adakah Kau Lupa - Alarm Me
Kita pernah berjaya
Adakah kau lupa
Kita pernah berkuasa
Memayungi dua pertiga dunia
Menrentas benua melayar samudera
Keimanan juga ketaqwaan
Rahsia mereka capai kejayaan
Bangunlah wahai anak bangsa
Kita bina kekuatan jiwa
Tempuh rintangan perjuangan
Gemilang generasi yang silam
Membawa arus perubahan
Keikhlasan hati dan nurani
Ketulusan jiwa mereka berjuang
Sejarah telah mengajar kita
Budaya Islam di serata dunia
Membina tamadun berjaya
Merubah mengangkat maruah
Lagu & Lirik: Jef Hazimin Jaafar & Alarm Me
Selasa, April 22, 2008
Meratapi Andalus Demi Merapatkan Umat
Permusuhan, kesenangan serta kecintaan terhadap dunia faktor keruntuhan kerajaan Islam di Sepanyol
Menangislah anakku bak kaum wanita menangis ke atas kerajaanmu yang hilang kerana kamu tidak dapat memeliharanya seperti kaum lelaki." Begitulah ucapan seorang bonda Raja dalam sejarah Islam di Andalus, Sepanyol. Ia diucapkan oleh Aisyah kepada anaknya Abu Abdullah daripada puak Bani al-Ahmar, Raja terakhir kerajaan Islam Granada pada 21 Muharram 897 Hijrah (H) yang memeterai perjanjian penyerahan kerajaannya kepada Raja Kristian Sepanyol, Ferdinand dan Isabella. Dengan itu, berakhirlah era kerajaan Islam di bumi Eropah yang berkuasa selama 800 tahun.
Bani al-Ahmar adalah puak yang menguasai wilayah Islam terakhir di Sepanyol iaitu Granada daripada 620 H hingga 897 H, pada tahun di mana perjanjian di atas dimeterai. Perjanjian yang membabitkan 67 perkara itu termasuk jaminan keselamatan orang Islam di Sepanyol yang pada akhirnya tidak pernah direalisasikan bahkan selepas 300 tahun kemudian, Islam dan tanda-tandanya terhakis di bumi Sepanyol, seolah-olah Islam dan tamadunnya tidak pernah wujud di negara itu walaupun ia pernah menyinari dan menerajuinya selama 800 tahun.
Dalam kejadian itu, ribuan umat Islam mati bergelimpangan bermandi darah selepas tentera Kristian membunuh mereka.
Sebelum itu, ketika mereka bersembunyi di dalam rumah, dengan lantang tentera Kristian membuat pengumuman bahawa orang Muslim Granada boleh keluar dari rumah mereka dengan aman bagi membolehkan mereka menaiki kapal untuk berlayar keluar dari Sepanyol dengan membawa barang keperluan masing-masing.
Tentera Kristian turut memaklumkan keselamatan orang Islam yang ingin meninggalkan Sepanyol terjamin.
Ramai umat Islam yang meragui tawaran tentera Kristian itu. Bagaimanapun, selepas umat Islam melihat sendiri kapal yang akan membawa mereka berlabuh di pelabuhan, mereka kemudian mengambil keputusan menerima tawaran itu.
Keesokan harinya, ribuan penduduk Muslim Granada keluar beramai-ramai membawa seluruh barang keperluan mereka pergi ke pelabuhan itu. Bagaimanapun, ada umat Islam yang tidak mempercayai tawaran tentera Salib itu terus bertahan dan bersembunyi di rumah masing-masing.
Selepas ribuan umat Islam Sepanyol berkumpul di pelabuhan, dengan pantas tentera Kristian menggeledah rumah yang ditinggalkan mereka sebelum membakarnya.
Ribuan umat Islam yang berada di pelabuhan pula tergamam apabila tentera Kristian membakar kapal yang dikatakan akan mengangkut mereka keluar dari Sepanyol. Kapal itu kemudian tenggelam dan umat Islam tidak dapat berbuat apa-apa kerana mereka tidak bersenjata. Kebanyakan mereka adalah wanita dan kanak-kanak, sedangkan tentera Kristian mengepung mereka dengan pedang terhunus.
Selepas menerima arahan pemimpin, ribuan tentera Kristian itu kemudian membunuh umat Islam Sepanyol tanpa perasaan belas kasihan. Jerit tangis dan takbir terdengar tetapi dengan buas tentera Kristian terus membunuh warga awam yang sama sekali tidak berdaya. Seluruh Muslim Sepanyol di pelabuhan itu habis dibunuh dengan kejam. Darah bergenang di mana-mana. Laut yang biru berubah menjadi merah kehitam-hitaman. Itulah kisah menyedihkan dalam sejarah umat Islam yang tidak boleh dilupakan. Banyak cerita yang menyayat hati seperti ini dibukukan seperti al-Ihatah fi Akhbar Gharnatah (Berita Menyeluruh Mengenai Granada) dan al-Muqtabas min Akhbar al-Andalus (Sekelumit Sejarah Andalus), malah seorang ulama terkenal seperti Ibn Hazam menceritakannya dalam kitab mashurnya al-Fisal fi al-Milal wa al-Nihal.
Selepas kejadian itu dan memerintah Sepanyol selama 300 tahun, tidak ada tanda atau simbol Islam yang kekal di negara itu.
Umat Islam juga diugut dan diseksa oleh tentera Kristian Sepanyol dengan pelbagai ugutan dan seksaan yang sangat kejam, mengerikan dan menakutkan dan tidak ada belas kasihan. Orang Kristian di Sepanyol tidak mahu Islam wujud lagi. Oleh itu kita dapati umat Islam sangat tersepit sehingga ada yang mengaku Kristian padahal mereka seorang Muslim kerana terlalu perit dugaan yang dialami mereka.
Islam mula masuk ke Sepanyol pada 92 H di bawah kepemimpinan panglima Tariq bin Ziyad, Musa bin Nusair dan Abdul Aziz bin Musa. Selepas kemasukan mereka melalui Jabal Tariq (Gibral Tar) pada tahun itu, Sepanyol beransur-ansur muncul menjadi sebuah negeri yang makmur. Pasukan Islam tidak saja berhenti di Sepanyol, malah terus meluaskan empayar di negeri sekitar seperti Perancis. Kota Carcassone, Nimes, Bordeaux, Lyon, Poitou, Tours dan sebagainya jatuh ke tangan umat Islam. Walaupun pasukan Islam sangat kuat dan memiliki kekuasaan yang luas, mereka masih tetap memberikan toleransi kepada suku Goth dan Navaro di daerah sebelah Barat yang juga kawasan pergunungan.
Islam sudah menerangi Sepanyol dan oleh kerana sikap penguasa Islam begitu baik dan rendah hati, maka ramai orang Sepanyol yang tulus dan ikhlas memeluk Islam. Mereka bukan hanya beragama Islam, namun mereka sungguh-sungguh mempraktikkan kehidupan secara Islam. Mereka tidak hanya membaca al-Quran malah bertingkah laku berdasarkan al-Quran. Keadaan tenteram seperti itu berlangsung hampir enam abad lamanya.
Penguasa dan pemimpin Islam pada masa itu sangat berwibawa dan digeruni. Abdul Rahman al-Dakhil, sebagai contoh, adalah orang yang mendirikan Khilafah Bani Umayyah di Andalus. Ketika dijemput pemimpin Kristian yang dibantunya dalam memerangi musuh mereka, beliau dipelawa minum arak, tetapi beliau menolak secara diplomasi dengan katanya: "Aku memerlukan tambahan untuk otakku bukan untuk mengurangkannya."
Bagaimanapun, selama Islam berada di Andalus berabad-abad lamanya itu, mereka tetap di keliling orang kafir Sepanyol yang sedia menanti untuk menghapuskan Islam di negara itu, namun mereka selalu gagal. Beberapa kali dicuba tapi selalu tidak berhasil.
Mereka kemudian menghantar perisik untuk mengkaji kelemahan umat Islam di Sepanyol. Akhirnya perisik itu menemui cara untuk menakluk Islam di Sepanyol, iaitu melemahkan iman mereka dengan serangan pemikiran dan budaya.
Mereka secara senyap menghantar arak dan rokok secara percuma ke Sepanyol. Muzik diperdengarkan untuk memujuk kaum mudanya agar lebih suka menyanyi dan menari daripada membaca al-Quran. Mereka juga mengirim sejumlah ulama palsu yang kerjanya meniupkan perpecahan di kalangan umat Islam Sepanyol. Akhirnya usaha mereka membuahkan hasil apabila satu persatu daerah di Sepanyol jatuh.
Di samping itu, antara punca lain yang membuat Andalus hilang daripada peta sejarah umat Islam adalah perbalahan dan permusuhan sesama sendiri antara mereka sehingga menjadi lebih daripada 20 puak yang mempunyai negeri sendiri. Antaranya Bani Jahur, Bani 'Ibad, Bani al-Aftas, Bani Nun dan lain-lain. Dengan wujudnya ramai puak ini, mudahlah musuh Islam di Andalus merebut kembali tanah mereka kerana mereka mengetahui kelemahan umat Islam. Apa yang menyedihkan ada umat Islam yang menjual agama dan negara demi kepentingan peribadinya.
Sebagai contoh, Abu Zaid, gabenor daerah Balansiah ketika rakyatnya memberontak dia membuat perjanjian dengan Raja Kristian Choinawi untuk membantu memadamkan pemberontakan itu. Sebagai habuannya, Abu Zaid akan memberikan beberapa kawasan kepada Choinawi dan membayar 'jizyah' tahunan kepadanya. Jizyah dalam Islam mesti dibayar bukan Islam kepada pemerintah Islam, tetapi apa yang dilakukan Abu Zaid yang beragama Islam adalah terbalik apabila berjanji membayar jizyah kepada Choinawi yang beragama Kristian.
Lapan ratus tahun bukan masa yang singkat. Selepas umat Islam 'menghidupkan' Sepanyol dan menjadikannya bangsa yang bertamadun, berbanding bangsa lain di Eropah, akhirnya ia seolah-olah tidak pernah wujud di negara itu? Peristiwa ini amat menyedihkan bagi umat Islam sepanjang zaman. Sepanyol sekarang bukan Sepanyol dahulu. Sepanyol hari ini bukanlah Andalus pada satu masa dulu. Sepanyol sekarang adalah Sepanyol yang mempunyai seorang menteri pertahanan wanita, Carme Chacon yang boleh memeriksa barisan tentera negaranya walaupun dalam keadaan hamil seperti dilaporkan akhbar pada 14 April lalu.
Sebenarnya musuh Islam dan umatnya tetap satu. Dari dulu hingga sekarang musuh Islam tetap ada, cuma ia berbeza orang dan jenteranya. Mereka tetap ingin melenyapkan Islam sedapat mungkin dengan apa juga cara.
Dengan mengambil contoh Andalus yang hilang dan mencari sebab kehilangannya termasuk kelemahan akidah dan terlepas daripada jalur yang lurus, permusuhan sesama sendiri, berpihak kepada bukan Islam, kesenangan yang tidak terkawal dan kecintaan terhadap dunia, tidak mustahil ia juga akan berlaku di mana-mana. Dan ketika itu ucapan bonda Aisyah pada permulaan tulisan ini akan terdengar kembali. Wallahu a'lam.
Petikan:
Akhbar Berita Minggu, 20 April 2008, ruangan Ulul Albab, Meratapi Andalus Demi Merapatkan Umat oleh Abdurrahman Haqqi
Maassalamah Ya Andalus - Far East
Maka tersebutlah suatu daerah
Tersergam megah azannya bergema
Keagungannya, kemasyhurannya
Merentas seluruh dunia fana
Dan bersemaraklah cahaya-Mu Yang Esa
Bagai azimat untuk seluruh umat
Kehancuran yang mendatang
Kerna alpa dan prasangka jiwa lara
Harus kau ingat dari musibahmu
Datang bencana kerana kau lupa
Andalusia tinggal sejarah
Kekufuranmu terkubur semua
Haruslah kau beringat
Musibah yang melanda
Bencana dan merana kita lupa
Ada teladan dari kegagalan
Untukmu insan jadikan pedoman
Selamat tinggal Andalusia
Yang rebah tersungkur ke dada bumi
Selamat tinggal Andalusia
Mungkinkah dapatku kembalikan sinarmu.
Lagu: Johari Teh
Lirik: Ahmad Fadzli
Sabtu, Maret 08, 2008
Institusi Ulama Di Era Pemerintahan Uthmaniyyah
“Wahai anakku, janganlah sekali-kali kamu menyibukkan diri melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan oleh Allah Tuhan semesta alam. Jika kamu menghadapi sebarang kesulitan di dalam pemerintahan, maka bermesyuaratlah kamu dengan pada Ulama' untuk mencari jalan penyelesaian""Wahai anakku, rendahkanlah dirimu dengan kemuliaan kepada orang-orang yang mentaatimu serta peliharalah kebajikan tenteramu. Janganlah sekali-kali kamu diperdayakan oleh Syaitan dengan (kekuatan) tentera dan hartamu. Dan janganlah kamu sekali-kali menjauhkan diri daripada Ahli Syariah...""Wahai anakku, sesungguhnya kamu mengetahui bahawa matlamat kita adalah keredhaan Allah Tuhan semesta alam. Sesungguhnya jihad itu menyebarkan cahaya sinaran agama kita ke segenap penjuru. Dengan demikian itulah terhasilnya Mardhatillah Jalla Jalaaluh...""Wahai anakku, kita bukanlah dari kalangan mereka yang berperang kerana syahwat mahukan kuasa atau menawan manusia. Sesungguhnya kita ini hidup dengan Islam dan dengan Islam jualah kita mati. Dan hakikat inilah wahai anakku, kamu itu adalah ahlinya!"
Nasihat Osman Gazi kepada anakandanya Orhan, menjadi batu asas kepada corak pemerintahan Othmaniyyah. Ia juga telah mengikat Ulama dan Institusi Syariah agar terus menjadi tiang seri tempat bersumbernya kekuatan dan pengaruh Sultan.
Memahami fungsi dan peranan institusi Ulama’ Uthmaniyyah adalah sebahagian daripada subjek penting di dalam memahami tabiat pentadbiran malah polisi-polisi yang dihasilkan di era Othmaniyyah. Secara ringkasnya, Institusi Penguatkuasaan Agama Islam di dalam pemerintahan Uthmaniyyah boleh dikemukakan seperti berikut:
1. Sheikh al-Islam
2. Para Qadhi di pelbagai peringkat dan kedudukan
3. Para Mufti
4. Sarjana Syariah dan Usul al-Deen
5. Institusi Perguruan di Madrasah-madrasah Islamiah
Sheikh al-Islam merupakan jawatan keagamaan tertinggi di dalam institusi Ulama’ di era Othmaniyyah. Kadang-kadang jawatan itu disebut sebagai Mufti al-‘Âsimah atau juga sebagai al-Mufti al-Akbar. Kedudukannya yang tinggi dan penting, menjadikan Sadr-ı azam (Perdana Menteri), para menteri, malah Sultan sendiri sering mengambil kira pandangan Sheikh al-Islam di dalam pelbagai urusan yang besar dan penting.
Pengaruh besar Sheikh al-Islam adalah paling menonjol pada bidang kuasanya yang boleh mengeluarkan fatwa untuk menurunkan mana-mana Sultan yang didapati sama ada menyeleweng daripada tanggungjawabnya melaksanakan hukum Syariat Islam, atau sekiranya Sultan ditimpa penyakit, khususnya penyakit mental yang tiada lagi diharapkan sembuhnya.
Contoh dapat dilihat pada peristiwa Sheikh al-Islam memfatwakan agar Sultan Selim III (1789 – 1808) dipecat kerana merombak haikal Tentera Othmaniyyah kepada sistem Barat (baca sebagai non-Islamik). Fatwa tersebut berbunyi, “Sesungguhnya setiap Sultan yang bertanggungjawab mengimport masuk sistem-sistem asing (non-Islamik) dan memaksa rakyat patuh kepada sistem itu, tidak boleh menjadi pemerintah!”. Hasil fatwa Sheikh al-Islam itu, Sultan Selim III telah dipecat dan kemudiannya dibunuh oleh tentera Yeni Çeri (Janissaries).
Fatwa kedua yang boleh diperhatikan adalah fatwa Sheikh al-Islam yang dikeluarkan pada tahun 1876 untuk memecat Sultan Abdul Aziz (1861 – 1876) berasaskan kepada sikap borosnya yang membawa kepada mengikat perjanjian meminjam sejumlah wang daripada institusi kewangan di Paris dan London. Beliau juga dilihat tidak berupaya melaksanakan tugasnya sebagai ketua negara. Pemecatan Sultan Abdul Aziz berlaku sehari selepas fatwa tersebut dikeluarkan.
Jawatan Sheikh al-Islam telah dimansuhkan apabila sistem Kesultanan dibubarkan pada tahun 1922. Ketika mana Khilafah Othmaniyyah dibubarkan sepenuhnya pada tahun 1924, Republik Turki telah menggantikan jawatan Sheikh al-Islam dengan satu badan pentadbiran baru yang terletak di bawah Jabatan Perdana Menteri di Ankara. Ketua kepada jabatan ini dikenali sebagai Diyanet İşleri Reis (Ketua Hal Ehwal Agama) dan dianggap sebagai ketua kepada semua kakitangan keagamaan di Republik Turki.
Dipetik dari:
Kertas kerja Seminar Di Ambang Keruntuhan Othmaniyyah: Pengajaran Buat Ummah oleh Hasrizal Abdul Jamil
Senin, Maret 03, 2008
Kemerosotan Turki Uthmaniyyah
“Beta adalah hamba Allah dan Sultan kepada dunia ini. Dengan limpah kurniaan Allah, beta menjadi ketua umat Muhammad. Kekuasaan Allah dan mukjizat Rasulullah menjadi teman beta. Beta adalah Süleyman, yang namanya dibacakan di dalam Khutbah di Makkah dan Madinah. Di Baghdad beta adalah Shah. Di tanah Byzantine, beta adalah Caesar. Di Mesir pula beta adalah Sultan; yang menghantar armada tenteranya ke perairan Eropah, Maghribi dan India. Beta adalah Sultan yang merampas mahkota dan takhta Hungary, untuk diberikan kepada hamba yang tunduk. Voivoda Petru cuba mengangkat kepalanya untuk menentangku, tetapi telapak kaki kudaku telah memijaknya tenggelam menjadi debu. Beta jugalah yang telah menawan tanah Moldavia[i]”.
Walau bagaimana pun, selepas berlakunya peperangan yang berterusan, kesatuan yang berlaku di antara kuasa-kuasa Eropah, pengkhianatan kerajaan Safavid Syiah di Iran dan pelbagai lagi faktor, keperkasaan Uthmaniyyah mula merintis graf menurun.
Punca Kemerosotan Turki Uthmaniyyah
Sebab-sebab yang membawa kepada kemerosotan dan kejatuhan Uthmaniyyah adalah pelbagai, namun semuanya terangkum di dalam satu kenyataan iaitu, “menjauhkan diri dari kepatuhan kepada Syariat Allah dan menghukum dengannya”. Ia dapat dilihat di pelbagai sudut seperti sosial, politik, ekonomi dan sebagainya.
Hal inilah yang mengundang musibah sebagaimana yang telah pun diperingatkan oleh Allah SWT di dalam firman-Nya:
“Oleh itu, hendaklah mereka yang mengingkari perintahNya, beringat serta berjaga-jaga supaya jangan mereka ditimpa bala bencana, atau ditimpa azab seksa yang tidak terperi sakitnya.” (An-Noor 24: 63)
Kelakuan-kelakuan yang menyimpang oleh Sultan-sultan Othmaniyyah di akhir usia pemerintahan, telah memberikan impak yang negatif kepada umat Islam. Kehidupan mereka yang tenggelam di dalam arus materialisma dan Jahiliah telah menjadikan diri dan masyarakat hidup dalam keresahan, celaru dan hilang jati diri.
Hal ini berlaku seiringan dengan kebangkitan musuh Othmaniyyah, sama ada di Barat, mahu pun Timur seperti kerajaan Safavid Syiah di Iran. Pada tahun 1599, Shah Abbâs dari Iran telah menghantar dutanya ke Eropah dan membuka kepada perbincangan ketenteraan dan ekonomi ke arah menekan Othmaniyyah secara langsung. Di Vienna, hasrat ini disambut oleh Maharaja dengan baik. Beliau menyatakan keinginan untuk membentuk suatu gagasan anti-Othmaniyyah bersama Russia dan Georgia di Timur, dan dalam masa yang sama akan bekerja keras ke arah menyatukan Raja-raja Kristian di Eropah di dalam satu Perang Salib yang bakal dilancarkan.
1603, perang besar-besaran dilancarkan dan tekanan serentak Timur dan Barat telah membinasakan Othmaniyyah. Bebanan Austria dan Parsi ini telah menjadi sumber luar yang utama kepada ketidakstabilan Othmaniyyah pada era tersebut.
Akan tetapi amat menarik untuk kita meneliti, apakah perbalahan tentang isu yang cuba diketengahkan oleh seminar ini pernah berlaku di era Othmaniyyah. Pernahkan masyarakat Othmaniyyah ‘diganggu’ oleh pertembungan pandangan di antara Salaf dan Khalaf? Seandainya ya, apakah pelajaran yang boleh kita pelajari daripadanya?
Dipetik dari:
(Kertas kerja Seminar Di Ambang Keruntuhan Othmaniyyah: Pengajaran Buat Ummah oleh Hasrizal Abdul Jamil)
Minggu, Maret 02, 2008
Menyusuri Taman Sejarah
Kerajaan Turki Uthmaniyyah telah mencapai kemuncak kegemilangannya di era pemerintahan Sultan Suleyman I (1520 – 1566). Ketika itu pemerintahan Othmaniyyah mencakupi kawasan sejauh Eropah Tengah ke Lautan Hindi dan ia dianggap sebagai kuasa terbesar dunia. Di dalam sebuah manuskrip bertarikh 1538, Sultan Süleyman I telah meluahkan pandangannya terhadap penguasaan beliau kepada kuasa dunia.
Bagi sebahagian umat, Patani mungkin hanya sebuah nostalgia negeri Melayu. Orang-orang yang memperhatikan peta Asia Tenggara sekarang akan mengetahui bahawa sebuah negeri yang dulu berjaya kini telah hilang dan tinggal kenangan.